Transfigurasi, oasis di padang gurun kehidupan menuju ke Tanah Terjanji
I. Tempat perhentian yang memberikan semangat untuk meneruskan perjalanan
Pada
waktu kami tinggal di Amerika, kami diajak berlibur ke beberapa tempat
wisata di Amerika oleh keluarga sepupu kami di mana kami menumpang.
Sepupu kami mengatakan bahwa jangan sampai tinggal di Amerika namun
tidak pernah melihat keindahan negara tersebut dan hanya menjadi ‘kutu
buku’ alias belajar saja. Akhirnya, kami sepakat untuk turut bersama
mereka ke Grand Canyon di negara bagian Arizona. Karena kami tinggal di
negara bagian Wisconsin, maka untuk menuju tujuan akhir ini, kami
harus melewati 4 negara bagian, yang berarti untuk diperlukan 1 hari 10
jam di dalam mobil. Di tengah-tengah perjalanan setelah bermalam di
suatu tempat, akhirnya kami singgah di suatu tempat yang sungguh
menakjubkan, yaitu Badlands di negara bagian South Dakota.
Pemandangan deretan pegunungan yang tandus namun terbentuk dari
lapisan-lapisan, terlihat seperti kue lapis legit, sungguh mencengangkan
dan mendatangkan kekaguman. Badan yang lelah akibat perjalanan panjang
terasa sirna melihat pemandangan yang sungguh menakjubkan ini. Tidak
henti-hentinya, hati mengucapkan syukur atas kebesaran Tuhan dan
kata-kata kekaguman terhadap keindahan alam ini kami ucapkan terus
menerus. “Betapa besarnya Engkau, Tuhan! How great Thou art!” Namun, tiba-tiba sepupu kami mengatakan, “Tunggu, sampai kamu melihat Grand Canyon.”
Wow? Jadi masih ada yang lebih indah lagi? Rasanya hati ini tidak
sabar untuk sampai ke Grand Canyon. Namun ini berarti kami harus
menunggu (dan bergantian menyetir) lagi selama 21 jam untuk dapat
menyaksikan keindahannya. Namun, semua jerih payah ini tidaklah terlalu
berarti sebab saya mengingat bahwa ada tempat yang lebih indah dari Badlands yang dapat saya nikmati, yaitu Grand Canyon – yaitu Badlands dalam skala yang lebih besar dan lebih indah.
Mungkin
itu adalah gambaran yang tidak sempurna tentang apa yang terjadi pada
saat Transfigurasi, yang menjadi bacaan minggu ke-dua di masa
Prapaskah. Pada waktu itu, para murid sungguh sangat terkejut dan
mungkin sedih, karena ternyata Sang Guru, Sang Mesias menceritakan
kepada mereka bahwa Dia harus menderita dan mati. Untuk menghibur para
murid inilah, Kristus seolah-olah memberikan harapan melalui peristiwa
Transfigurasi, dengan mengatakan, “Aku sungguh Allah dengan segala
kemuliaan yang telah engkau lihat sendiri …., walaupun Aku harus
melewati jalan kematian yaitu jalan salib. Namun, dengan kematian-Ku,
maka kemuliaan-Ku akan dinyatakan secara sepenuhnya. Jumat Suci akan
diikuti oleh Minggu Paskah. Dan aku mengundang engkau untuk mengikuti
jalan-Ku, sehingga engkau juga dapat menikmati kemuliaan bersama-Ku
untuk selama-lamanya. Namun, engkau juga harus mengambil jalan yang Aku
ambil.”
II. Bacaan minggu ke-2 Masa Prapaskah
Dalam
bacaan minggu pertama (Mt 4:1-11), kita melihat bagaimana Kristus
dicobai padang gurun dan Kristus mengalahkan kekuasaan si jahat
(silakan melihat artikel ini – klik ini). Dalam surat gembala prapaskah kepausan tahun 2011 (baca lengkapnya di sini – silakan klik), Paus Benediktus XVI mengatakan:
“Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah mengungkapkan keberadaan kita sebagai manusia yang hidup di bumi ini. Kemenangan dari perjuangan melawan penggodaan yang menjadi titik awal perutusan Yesus, haruslah menjadi ajakan bagi kita untuk
menyadari kerapuhan kita dalam menerima Rakhmat yang membebaskan kita dari dosa dan memberi pencurahan kekuatan baru di dalam Kristus, “jalan, kebenaran dan hidup” (bdk. Tatacara Inisiasi Kristiani bagi Orang Dewasa, no. 25). Hal itu harus menjadi peringatan yang keras bagi kita, bahwa iman kepercayaan Kristiani, sesuai dengan teladan dari dan dalam kesatuan dengan Kristus, mencakup juga perjuangan “melawan kuasa-kuasa kegelapan di dunia ini” (bdk. Ef. 6:12). Di sana si Setan, tanpa mengenal lelah senantiasa bekerja, juga sekarang ini, untuk menggoda siapa saja yang mau hidup dekat dengan Tuhan. Kristus yang akhirnya jaya terhadap godaan itu, membuka hati kita pada harapan baru dan membimbing kita juga untuk dapat mengalahkan bujukan-bujukan iblis itu.“
Dalam penjabaran di
atas, kita dapat melihat bahwa Kristus sendiri telah menunjukkan kepada
kita, bahwa kita dipanggil seperti Kristus untuk terus berjuang dalam
melawan kuasa-kuasa kegelapan di dunia ini. Dan kita, yang telah
menerima rahmat Allah dapat menang dalam perjuangan ini, sejauh kita
terus bersandar pada Kristus.
Dalam bacaan Minggu ke-dua masa
Prapaskah, Gereja menyodorkan satu perikop yang sungguh indah, yang
tertulis di Mt 17:1-9, Mrk 9:2-13, Luk 9:28-36. Berikut ini adalah
perikop yang tertulis di Injil Matius:
1 Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja.
2 Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang.
3 Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.
4 Kata Petrus kepada Yesus: “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”
5 Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”
6 Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan.
7 Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: “Berdirilah, jangan takut!”
8 Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorangpun kecuali Yesus seorang diri.
9 Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: “Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorangpun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.
Mari kita bersama-sama menelaah perikop ini, dengan harapan dapat berguna dalam masa Prapaskah ini.
III. Menempatkan peristiwa Transfigurasi pada konteksnya
1. Dari Pengakuan Petrus ke Transfigurasi
Kalau
kita memperhatikan, peristiwa Transfigurasi terjadi setelah pengakuan
Petrus di Kaesarea Filipi, yang terekam dalam ketiga Injil (lih. Mt
16:13-20; Mk 8:27-30; Lk 9:18-21). Ketika Yesus bertanya “Menurut kamu, siapakah Aku ini?“,
maka Petrus dengan lantang menjawab bahwa Yesus adalah Mesias, Anak
Allah yang hidup (lih. Mt 16:16) atau Mesias (lih. Mk 8:29), atau Mesias
dari Allah (lih. Lk 9:20). Yesus memuji jawaban Petrus dan bahkan
mengatakan bahwa jawaban tersebut sebenarnya dinyatakan sendiri oleh
Allah Bapa. Dan kemudian, dalam perikop yang sama, Yesus mendirikan
Gereja-Nya di atas Rasul Petrus, dan berjanji bahwa alam maut tidak akan
menguasainya. Janji yang begitu indah, besar, dan tidak terbatas ini
sayangnya masih belum dapat dimengerti oleh para rasul, termasuk Petrus.
Ketika
Yesus menyatakan bahwa Dia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung
banyak penderitaan dan akhirnya akan dibunuh, dan akan bangkit, Petrus
tidak dapat menerima hal ini. Saya juga membayangkan bahwa para rasul
yang lain juga terlalu terkejut atau sedih dengan pernyataan Yesus.
Petrus, yang sangat reaktif dan menggebu-gebu, mengatakan kepada Yesus
agar hal tersebut tidak terjadi pada Yesus (lih. Mt 16:22; Mk 8:32),
yang mengakibatkan hardikan Yesus kepada Petrus di ayat berikutnya.
Dalam kondisi bingung, tidak mengerti, sedih, maka para murid
meneruskan perjalanan bersama Yesus, dan kemudian pada hari ke-enam,
Petrus, Yohanes dan Yakobus, di bawa oleh Yesus untuk naik ke gunung
Tabor untuk berdoa.
2. Yom Kippur, Sukkoth dan pengakuan Petrus, Transfigurasi
Dalam bukunya “Jesus of Nazareth“,
Paus Benediktus XVI memberikan argumentasi bahwa pengakuan Petrus
(lih. Mt 16:16-19) sepertinya terjadi pada pesta Yom Kippur dan
Transfigurasi terjadi pada hari raya Pondok Daun.[1].
Pesta Pondok Daun ini terjadi setelah hari keenam dari Pesta Yom
Kippur. Yom Kippur menjadi pesta yang begitu istimewa, karena saat
itulah (hanya setahun sekali) nama Yahweh boleh/ dapat diucapkan oleh
imam agung di tempat maha kudus di bait Allah. Pada perayaan Yom Kippur
itulah Rasul Petrus menyebutkan pengakuan-Nya akan Kristus yang adalah
Sang Mesias, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup“.
Dengan demikian Petrus, mengakui Kristus sebagai Allah Putera; dan
pengakuan ini diterima oleh Kristus, dengan mengatakan bahwa pernyataan
itu berasal dari Allah Bapa sendiri. (lih. Mat 16:18)
Pesta Pondok Daun adalah memperingati leluhur bangsa Israel yang berkemah di padang gurun. Imamat 23:43 menuliskan “ Supaya
diketahui oleh keturunanmu, bahwa Aku telah menyuruh orang Israel
tinggal di dalam pondok-pondok selama Aku menuntun mereka sesudah keluar
dari tanah Mesir, Akulah TUHAN, Allahmu.” Tuhan yang menuntun
bangsa Israel melalui tiang awan (lih. Kel 13:21), seoleh-olah ingin
menyatakan kembali pimpinan-Nya kepada bangsa Israel dengan peristiwa
Transfigurasi. Tidak saja hanya dalam tiang awan seperti yang
digambarkan dalam Perjanjian Lama, melainkan Tuhan juga memperdengarkan
suara-Nya. Bahkan di Perjanjian Baru ini, Allah memberikan Putera-Nya
sendiri untuk memimpin umat Allah ke Tanah Terjanji, yaitu surga.
IV. Tipologi peristiwa Transfigurasi dengan Musa yang naik ke puncak gunung
Dikatakan “Enam
hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya,
dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi.
Di situ mereka sendiri saja.” (Mt 17:1). Paus Benediktus melihat
tipologi antara apa yang terjadi dalam Kel 24 dengan Transfigurasi.
Dalam kitab Keluaran dikatakan “Kemuliaan TUHAN diam di atas gunung
Sinai, dan awan itu menutupinya enam hari lamanya; pada hari ketujuh
dipanggil-Nyalah Musa dari tengah-tengah awan itu.” (Kel 24:16)
Sama seperti Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes, maka patut
diingat juga bahwa Tuhan berfirman kepada Musa untuk naik menghadap
Tuhan dengan mengajak Harun, Nadab dan Abihu, walaupun juga disertai
dengan tujuh puluh para tua-tua Israel (lih. Kel 24:1). Di kitab
Keluaran 24 dikatakan bahwa setelah Musa menerima perintah dari Tuhan,
maka dia membacakannya kepada bangsa Israel, dan kemudian bangsa Israel
menjawab “Segala firman yang telah diucapkan TUHAN itu, akan kami lakukan.” (Kel 24:3). Dan kemudian berakhir dengan tanda perjanjian dan dikatakan “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.” (Kel. 24:8)
Jika
dalam Kel 24 Musa naik bersama dengan Harun, Nadab dan Abihu, maka
dalam Transfigurasi, Kristus naik ke gunung bersama dengan Petrus,
Yohanes dan Yakobus. Musa naik ke gunung untuk menerima Firman Tuhan.
Dalam peristiwa Transfigurasi, Kristus, yang adalah Firman menyatakan
Diri-Nya dalam kemuliaan. Perkataan bangsa Israel yang menyatakan bahwa
segala firman yang diucapkan Tuhan itu akan mereka lakukan, seolah-olah
diberi bobot yang jauh lebih besar, karena pada peristiwa
Transfigurasi Allah Bapa sendirilah yang mengatakan “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” (ay.
5) Bukan Musa yang menyatakan perintah Allah kepada bangsa Israel,
namun Allah Bapa sendiri yang menyatakannya kepada Petrus, Yohanes dan
Yakobus yang mewakili seluruh umat beriman.
Dari sini, kita dapat
melihat adanya tipologi, yang memberikan kedalaman makna perikop ini.
Transfigurasi bukan hanya merupakan suatu kejadian, di mana Kristus
dimuliakan di atas gunung. Namun, lebih daripada itu, Transfigurasi
merupakan suatu pengulangan peristiwa dari bangsa Israel, yaitu
resolusi ketaatan dari bangsa Israel yang berakhir dengan tanda
perjanjian. Kalau dalam Perjanjian Lama, resolusi ketaatan adalah
kepada Firman yang tertulis, namun di dalam Perjanjian Baru, resolusi
ketaatan adalah kepada Kristus, yaitu Firman yang hidup, Firman yang
telah menjadi manusia (lih. Yoh 1:1-5). Dan pada saat yang sama, Firman
ini juga menjadi tanda perjanjian, yaitu ketika pada Perjamuan
Terakhir, Kristus sendiri mengatakan “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Mt 26:28)
V. Transfigurasi, perhentian yang memberikan kekuatan
1. Transfigurasi menjadi oasis di padang gurun kehidupan
Di
atas telah disebutkan bahwa sebelum terjadinya peristiwa
Transfigurasi, kemungkinan para murid berada dalam keadaan sedih dan tak
bisa menerima kenyataan bahwa Yesus – yang adalah Guru dan Tuhan-
harus menderita dan wafat. Dalam kekalutan inilah, mereka menemani
Yesus naik ke atas gunung. Untuk apa? Injil Lukas mencatat, bahwa
mereka naik ke atas gunung untuk berdoa (lih. Lk 9:28). Ini adalah
pelajaran yang begitu indah, bagaimana dalam kekalutan, kita harus naik
ke gunung untuk berdoa, sehingga kita akan mendapatkan kekuatan dalam
menghadapi gelombang kehidupan. Kita harus menemukan tempat yang sunyi
untuk berdoa (lih. Mt 6:6), sehingga kita dapat bertemu dengan Allah.
Kekalutan
dan ketakutan para murid akan kematian Kristus seolah-olah sirna,
ketika mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri, wajah Yesus
menjadi bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi seperti
putih bersinar seperti terang (ay. 2). Inilah yang terjadi di dalam
doa, bahwa kekalutan dan kegelapan sebenarnya sirna ditelan oleh Yesus,
Sang Terang dunia, yang menjanjikan bahwa barangsiapa mengikuti Dia,
tidak akan pernah berjalan dalam kegelapan (lih. Yoh 8:12). Di dalam
Kristus, kekalutan dan keletihan hidup digantikan dengan kelegaan (lih.
Mt 11:28), kegelapan digantikan dengan terang, dan ketidakpastiaan
digantikan dengan harapan yang kuat, karena Kristus adalah jalan,
kebenaran dan hidup (lih. Yoh 14:6).
Pengalaman spiritual yang
begitu mengesankan ini, sungguh membekas di hati Petrus. Inilah
sebabnya dalam suratnya rasul Petrus mengatakan “16 Sebab kami
tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami
memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus
sebagai raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya. 17 Kami menyaksikan, bagaimana Ia menerima kehormatan dan kemuliaan dari Allah Bapa, ketika datang kepada-Nya suara dari Yang Mahamulia, yang mengatakan: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” 18 Suara itu kami dengar datang dari sorga, ketika kami bersama-sama dengan Dia di atas gunung yang kudus.”
(2Pet 1:16-18) Pengalaman bersama dengan Yesus dalam kemuliaan-Nya
seharusnya terpatri dalam hati seluruh umat beriman, sehingga dapat
menjadi oasis yang menyegarkan dan menguatkan kita, ketika kita sedang
menghadapi percobaan-percobaan kehidupan.
2. Kristus adalah Tuhan dari Elia dan Musa
St. Ephraem, salah satu dari pujangga Gereja menghubungkan peristiwa Pengakuan Petrus dengan Transfigurasi.[2] Dalam perikop pengakuan Petrus, Yesus bertanya kepada para murid “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” (Mt 16:13) Dan kemudian di ayat berikutnya, para murid menjawab “Ada
yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan
ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.”
Di dalam Transfigurasi inilah, Kristus menunjukkan bahwa perkataan
Petrus bahwa Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, sungguh
benar. Dalam kemuliaan-Nya, Kristus menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan
dari Elia dan para nabi lainnya. Kristus adalah pemenuhan dari semua
hukum di dalam Perjanjian Lama (diwakili Musa) dan pemenuhan nubuat para
nabi (diwakili Elia). Kristus menunjukkan bahwa Dia adalah Pencipta
langit dan bumi. Dengan menengadah ke atas/ ke langit, Kristus memanggil
Elia (yang sebelumnya terangkat ke Sorga – lih. 2Raj 2:11) dan Ia
memanggil Musa dari bawah/ bumi (dari kuburnya). Dan kemudian mereka
bercakap-cakap di awan.
Musa dan Elia bergembira karena
menyaksikan Yesus, Tuhan yang menjelma menjadi sungguh manusia,
sedangkan Petrus, Yohanes dan Yakobus bersyukur, karena mereka telah
menyaksikan Yesus, yang sungguh Allah. Kalau dalam Perjanjian Lama
dibutuhkan minimal dua atau tiga saksi untuk mengkonfirmasi suatu
kejadian adalah benar adanya (lih. Ul 19:15), maka dalam peristiwa
Transfigurasi ini, dua orang dari Perjanjian Lama dan tiga orang dari
Perjanjian Baru menjadi saksi peristiwa mulia ini. Dengan demikian,
Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia adalah benar adanya,
karena menjadi pemenuhan dari nubuat di dalam Perjanjian Lama dan
disaksikan oleh saksi-saksi.
3. Transfigurasi memberikan gambaran akan Trinitas
Kesaksian
yang diperlukan untuk membuat suatu kejadian menjadi benar, bukan
hanya diberikan oleh manusia, namun juga diberikan oleh Tuhan. Allah
Bapa memuliakan Sang Anak dan bersaksi tentang Yesus (lih. Yoh 5:37)
dengan mengatakan “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”
(ay. 5) dan Allah Roh Kudus menaungi mereka. Hal yang sama digambarkan
di dalam kitab Keluaran, ketika Musa mendaki gunung dan kemudian awan
itu menutupinya. Dikatakan “Kemuliaan TUHAN diam di atas gunung Sinai.”
(Kel 24:16). Roh Allah tidak lagi datang dalam awan gelap (lih. Kel
20:21), namun kini datang dalam rupa awan yang terang (Mt 17:5) Gambaran
yang lebih jelas akan Trinitas, seharusnya membuat para rasul dan
seluruh umat Allah untuk semakin menaruh iman kepercayaan kita kepada
Yesus. Yesus telah dipermuliakan dan Dia akan datang dalam kemuliaan-Nya
(lih. Mt 16:27), ketika genap waktunya.
4. Menuju kepada keselamatan dengan mendengarkan dan melakukan apa yang dikatakan Yesus
Gambaran dari Trinitas sebelumnya telah dinyatakan di dalam peristiwa baptisan Yesus, di mana Allah Bapa mengatakan “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mt 3:17), terdengar lagi dengan lebih jelas “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”
Allah Putera dinyatakan sebagai Anak Allah dan lebih daripada itu,
dalam Diri Yesus terletak semua hukum dan pemenuhan dari semua nubuat
para nabi. Inilah sebabnya, Allah Bapa mengatakan kepada para rasul
untuk mendengarkan Yesus. Bahkan segala kuasa di Sorga dan di bumi telah
diberikan kepada Yesus. (lih. Mt 28:18).
Allah Bapa memberikan
penekanan, bahwa Kristus adalah Anak-Nya yang terkasih dan semua orang
harus mendengarkan Kristus. Apanya yang perlu didengarkan? Semua yang
diucapkan-Nya dan dilakukan-Nya (lih. Mt 28:20). Namun, mungkin
terutama, apa yang sebelumnya dikatakan oleh Kristus sendiri – yang
menjadi skandal bagi para murid dan yang juga menjadi batu sandungan
bagi kaum Yahudi dan menjadi suatu kebodohan bagi bangsa Yunani (lih.
1Kor 1:23) – , yaitu tentang misteri penderitaan, kematian, dan
kebangkitan Kristus. (lih. Mt 16:21-28; Mrk 8:31-9:1; Lk 9:22-27).
Inilah sebabnya Rasul Paulus juga mengatkan bahwa dia memberitakan
Kristus yang tersalib (lih. 1Kor 1:23) Salib memang merupakan sesuatu
yang berharga, sebab melaluinya kita sampai kepada kemuliaan yang
dijanjikan Yesus. Oleh sebab itu Yesus mengatakan “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”
(Mt 16:24) Inilah yang akan membawa manusia kepada keselamatan. Sebab
tujuan akhir kita bukan berhenti kepada melihat Transfigurasi, namun
kepada Transfigurasi yang sesungguhnya dan yang kekal, yaitu melihat
Allah muka dengan muka di dalam Kerajaan Sorga (lih. 1 Yoh 3:2).
5. Kristus memampukan kita untuk memikul salib
Setelah kekecewaan Petrus terobati dengan kemuliaan Kristus yang dia saksikan, maka Dia mengatakan “Tuhan,
betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah
kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan
satu untuk Elia.” (ay. 4) Petrus yang mendapatkan penghiburan dari
apa yang dialaminya mau mendapatkan penghiburan untuk selamanya, atau
paling tidak lebih lama. Petrus seolah-olah telah melupakan apa yang
dikatakan oleh Yesus tentang penderitaan, kematian yang harus dialami
oleh Yesus dan juga tentang penyangkalan diri, memikul salib dan
mengikuti Yesus. Semua hal yang menjadi beban dan resiko untuk menjadi
murid Kristus seolah-olah sirna dengan kemilau kemuliaan Kristus.
Mungkin, kita juga pernah mengalami kebahagiaan bersama dengan Tuhan
secara istimewa, entah melalui permenungan, rekoleksi, retret, dll. Kita
seolah-olah ingin agar saat-saat itu tidak berakhir.
Namun, di tengah-tengah ekstasi inilah, Petrus dan kawan-kawan mendengar suara “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”
(ay. 5). Suara ini menyadarkan mereka bahwa mereka tidak mungkin
mengalami manifestasi kemuliaan ini untuk selamanya dan tidak mungkin
mereka hanya berdiam diri di atas gunung dan melupakan tugas mereka.
Mereka disadarkan bahwa mereka harus mendengarkan Yesus, Sang Mesias,
Anak Allah yang hidup, yang sebelumnya pernah mengatakan kepada mereka
tentang segala penderitaan yang harus dialami-Nya. Selain karena
ketakutan akan manifestasi dari suara Tuhan, namun ketakutan ini adalah
suatu ketakutan bahwa mereka harus kembali turun gunung, mereka harus
menghadapi lagi suatu kenyataan bahwa mereka harus menjalankan tugas
yang belum selesai.
Dalam ketakutan inilah, tiba-tiba terdengar suara “Berdirilah, jangan takut!”
(Mt 17:7). Yesus ingin menyatakan bahwa ketakutan dalam menghadapi
semua percobaan akan sirna jika dihadapi bersama dengan Yesus. Kunci
dari menghadapi semua tantangan yang diberikan oleh Yesus – menyangkal
diri, memikul salib dan mengikuti Yesus – adalah Yesus sendiri, karena
Yesus sendiri yang akan memberikan kekuatan. Kristus tidak mengatakan
bahwa Dia akan mengambil salib dari diri kita, namun Kristus ingin
mengatakan bangkitlah, berdirilah, dan berjalanlah bersama-Ku, maka
engkau akan mendapatkan kekuatan dalam menghadapi segalanya. Mari,
ikutilah Aku….
VI. Ikutilah Aku ke Tanah Terjanji
Setelah
reda dalam ketakutan-Nya, maka para murid mengikuti Yesus untuk turun
gunung. Inilah saat ketika mereka harus menghadapi kenyataan hidup dan
panggilan hidup untuk mengikuti Kristus. Namun, mereka yang telah
mengalami Kristus yang dipermuliakan, telah mendapatkan kekuatan untuk
menghadapi segalanya. Bagi kita, seluruh umat Katolik, sebenarnya
kitapun mengalami pengalaman seperti para rasul itu yang menyaksikan
Transfigurasi. Pengalaman ini kita peroleh setiap kali kita menerima
Ekaristi. Dalam setiap perayaan Ekaristi, Kristus yang menderita, wafat,
bangkit dan naik ke Sorga dihadirkan kembali dan bersatu dengan kita.
Dalam persatuan kita dengan Kristus yang kita sambut dalam Ekaristi,
kita menyaksikan kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam kesederhanaan dan
kebersahajaan rupa sepotong roti. Allah yang begitu besar, memilih
untuk menyatakan Diri-Nya dengan cara yang sangat sederhana, agar dapat
menghampiri kita dan menyatu dengan kita. Ialah Roti Surga yang menjadi
santapan rohani bagi kita, agar kita menerima rahmat kekuatan dan
penghiburan. Rahmat Ekaristi inilah yang memampukan umat Allah untuk
turun gunung dan melaksanakan tugas sebagai murid- murid Kristus, yaitu
menyampaikan Kristus kepada orang lain dan membawa orang lain kepada
Kristus.
Catatan: Artikel ini dipakai untuk pendalaman Kitab Suci di Paroki Regina Caeli – Pantai Indah Kapuk, tanggal 16 Maret 2011
Sumber: katolisitas.org
CATATAN KAKI:
- Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth : from the baptism in the Jordan to the transfiguration p. 306-308, 1st ed. , New York: Doubleday, 2007
- M Toal, The Sunday sermons of the great Fathers p.45-47, New ed., San Francisco: Ignatius Press, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar