Pendahuluan
Pernahkah anda mendengar komentar bahwa Ekaristi
itu hanya ‘karangan’ Gereja Katolik? Atau bahwa Kristus tak
sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi? Atau beberapa orang mengklaim
bahwa mereka kembali ke pengajaran yang murni dari para rasul untuk
memperbaharui iman Kristen? Jika kita mendengar komentar-komentar
semacam ini, tak usah kita menjadi resah. Sebab jika mereka dengan
sungguh- sungguh tulus mempelajari Kitab Suci, dan dengan konsisten
mempelajari sejarah dan tulisan para Bapa Gereja, seharusnya mereka tak
bisa berdalih, sebab semua itu malah semakin memberikan bukti yang kuat
terhadap kemurnian ajaran Gereja Katolik. Ya, salah satu yang terpenting
di antaranya adalah kehadiran Yesus dalam Ekaristi (the Real Presence of Jesus in the Eucharist).
Kesaksian dari Para Bapa Gereja
Sesungguhnya
kita harus berterima kasih kepada para Bapa Gereja karena oleh
kesaksian dan tulisan mereka, kita terhubung dengan jemaat Kristen awal
dan bahkan sampai ke jaman para rasul. Mereka adalah saksi yang hidup
tentang pengajaran para rasul, dan mereka juga memberi kesaksian tentang
para pengarang Alkitab dan keaslian kitab-kitab yang tergabung di
dalamnya. Tanpa kesaksian mereka yang mengenal para rasul tersebut
secara langsung, kita tidak dapat memperoleh Alkitab. Tanpa kesaksian
mereka, kita tidak tahu bahwa Injil Matius ditulis oleh Rasul Matius,
dan Injil Markus oleh Markus, dst, sebab di dalam Injil tersebut nama
pengarangnya tidak disebut. Demikian pula halnya dengan surat-surat
Rasul Paulus. Maka, kita tidak dapat mengacuhkan kesaksian para Bapa
Gereja di abad awal ini, sebab mereka menjembatani kita kepada Kristus
dan para rasul.
Menarik jika kita membaca tulisan Kardinal Newman,
dalam pencariannya sebelum ia menjadi Katolik. Sebagai seorang
Anglikan, ia pertama-tama bermaksud menyelidiki sejarah untuk
membuktikan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh Gereja Katolik.
Namun akhirnya malah ia menemukan kenyataan yang sebaliknya, bahwa
pengajaran Gereja Katolik sungguh berakar dari sejarah perkembangan iman umat Kristen awal. Demikianlah yang dituliskan dalam bukunya yang terkenal itu, Essay on the Development of Christian Doctrine (1845)[berikut ini adalah kutipannya]:
“Sejarah
Kekristenan bukanlah Protestanism. Jika ada yang namanya kebenaran yang
aman, inilah dia. Dan Protestanism juga merasakan hal ini… Ini terlihat
dalam keyakinan … untuk membuang semua sejarah kekristenan, dan
membentuk Kekristenan dari Alkitab saja: orang-orang tidak akan
pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”[1]
pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”[1]
Bukti kehadiran Yesus dalam Ekaristi menurut Para Bapa Gereja
Sebenarnya,
setiap doktrin Gereja Katolik telah dapat ditemukan dalam tulisan para
Bapa Gereja sejak abad-abad awal, seperti, Misa Kudus sebagai kurban
syukur, kepemimpinan rasul Petrus dan para penerusnya, doa syafaat para
orang kudus, devosi kepada Bunda Maria, dan tentang topik yang sedang
kita bahas ini, yaitu kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Mari kita melihat
beberapa bukti ini:
1) St. Ignatius dari Antiokhia
(110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di
Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh
surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:
a.
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku
membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai
makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”[2]
b.
Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka
yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam
Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang
mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita,
dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan
Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa,
sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”[3]
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[4]
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[4]
2) St. Yustinus Martir (sekitar
tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran
dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology,
kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang
Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak
satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa;
tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita
telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan
darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang
telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”[5]
3) St. Irenaeus
(140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus,
yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”[6]
4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386),
Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan
menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus.
Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu
meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan
keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk
menerima Tubuh dan Darah Kristus.”[7]
5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah
roti dibuat tidak dari saru butir gandum, melainkan banyak butir? Namun
demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi
setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi
roti]”[8]
Melalui pengajaran para Bapa Gereja ini, kita mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dan, maksudnya Ekaristi itu diberikan supaya kita belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus,
yang ditandai dengan kesatuan kita dengan dengan para pemimpin Gereja,
yaitu uskup, imam dan diakon. Iman sedemikian sudah berakar sejak jemaat
awal, dan ini dibuktikan, terutama oleh kesaksian St. Ignatius dari
Antiokhia yang mendapat pengajaran langsung dari Rasul Yohanes. Jangan
lupa, Rasul Yohanes adalah yang paling jelas mengajarkan tentang Roti
Hidup pada Injilnya (lihat Yoh 6). Jadi walaupun doktrin Transubtantion
baru dimaklumkan pada abad 13 yaitu melalui Konsili Lateran ke 4
(1215), Konsili Lyons (1274) dan disempurnakan di Konsili Trente (1546),
namun akarnya diperoleh dari pengajaran Bapa Gereja sejak abad awal.
Prinsipnya adalah: roti dan anggur, setelah dikonsekrasikan oleh Sabda
Tuhan, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Karena itu, walaupun
rupa luarnya berupa roti dan anggur, namun hakekatnya sudah berubah
menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh kesatuan dengan Tubuh yang satu
ini, maka kita yang walaupun banyak menjadi satu.
Bukti sejarah
Maka
kita dapat melihat bahwa sebelum masa Reformasi Protestan, semua umat
Kristen percaya dan mengimani kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi.
Maka beberapa gereja yang memisahkan diri dengan Gereja Katolik sebelum
masa itu, sebagai contohnya, Nestorianism, Armenianism, gereja Coptic
(abad ke -5), gereja-gereja Orthodox (abad ke-11), tetap mempercayai
doktrin kehadiran Kristus dalam Ekaristi tersebut.[9]
Jika
sekarang ada orang berkata bahwa doktrin tentang kehadiran Yesus dalam
rupa roti dan anggur itu sepertinya tidak mungkin, maka sesungguhnya
sejak zaman jemaat awalpun, banyak orang yang juga berpendapat demikian.
Hal ini dituliskan di Alkitab, yaitu bahwa sejak saat Yesus mengajarkan
hal Roti Hidup ini, banyak orang tidak percaya dan meninggalkan Dia
(lih Yoh 6: 60). Tentu, jika maksud Yesus hanya mengajarkan bahwa roti
itu hanya melambangkan Tubuh-Nya dan anggur itu hanya melambangkan Darah-Nya, Ia tentu dapat mengatakan demikian, “Di dalam roti ini adalah Tubuh-Ku”, atau “Roti ini adalah Tubuh-Ku.” Namun Yesus tidak berkata demikian, sebab Ia dengan jelas berkata, “Inilah Tubuh-Ku”
(Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19). Maka, Tradisi Gereja Katolik
mengartikan ayat ini secara literal bahwa maksud Yesus adalah: “Ini, substansi ini, yang tadinya roti, sekarang menjadi Tubuh-Ku.”
Banyak
dari para pengikut Kristus sejak awal menganggap perkataan-Nya ini
sulit dimengerti. Namun faktanya, walaupun demikian, Gereja Katolik
tetap memegang teguh ajaran ini selama banyak generasi. Ini adalah suatu
bukti yang kuat bahwa ajaran ini berasal dari Allah sendiri, sebab jika
tidak, ajaran ini tidak mungkin langgeng dan tidak mungkin dipercayai
oleh umat yang tersebar di seluruh dunia.
Bukti dari Mukjizat Ekaristi
Gereja mencatat begitu banyak mukjizat Ekaristi yang terjadi,[10]
namun mari kita melihat mukjizat yang paling terkenal, yaitu mukjizat
yang terjadi di Lanciano, Italia, pada abad ke-8. Saat itu sekitar tahun
700, seorang imam Basilian pada sebuah biara di Lanciano meragukan
ajaran bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Maka suatu hari, pada
saat mempersembahkan Misa Kudus, saat ia selesai mengucapkan perkataan
Konsekrasi, tiba-tiba hosti itu berubah menjadi sebuah lingkaran daging
dan anggur itu menjadi darah. Sang imam menjadi sangat terkejut, bahwa
Tuhan telah secara ajaib menjawab segala keraguannya. Sampai sekarang,
potongan daging dan darah [sekarang berupa gumpalan darah kering]
ditahtakan dan dapat dilihat di dalam gereja itu. Saya berkesempatan
menyaksikan sendiri bukti mukjizat ini, saat saya berziarah ke Lanciano
pada tahun 2000.
Mukjizat ini telah berkali-kali diperiksa, dan
tidak ada tanda-tanda pemalsuan. Paus Paulus VI memperbolehkan agar
diadakan penyelidikan ilmiah terhadap kedua species itu pada tahun
1970-1971, dan tahun 1981 (sertifikat pemeriksaannya ada terpajang di
sana), oleh beberapa orang dokter Italia dengan menggunakan alat-alat
yang canggih.[11]
Mereka menyimpulkan bahwa potongan daging itu adalah benar-benar daging
manusia, dan demikian juga dengan darah tersebut. Daging tersebut
berasal dari irisan hati (jantung hati) manusia yang disebut myocardium,
dan darahnya bertipe AB, dan mengandung segala protein yang terdapat
pada darah segar manusia. Dan ajaibnya, walaupun daging dan darah
tersebut telah dipajang selama 1300 tahun, terkena kontak langsung
dengan udara, tanpa zat pengawet sekalipun, keduanya tetap tidak rusak
secara biologis. (Silakan melihat gambar berikut ini)
Perbandingan Doktrin Ekaristi menurut Gereja Katolik, Luther, Calvin dan Zwingli.
Gereja
Katolik, mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja,
mengajarkan apa yang disebut sebagai Transubstansiasi, yaitu, pada saat
selesainya diucapkan konsekrasi, substansi roti dan anggur diubah
menjadi Tubuh dan Darah Kristus, walaupun rupa luarnya tetap sebagai
roti dan anggur. Jadi prinsipnya:
1) Saat konsekrasi, pada saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka Kristus pada saat itu sungguh-sungguh hadir secara nyata dengan Tubuh dan Darah-Nya
pada species roti dan anggur itu. Itulah sebabnya kita harus dengan
penuh hormat menyambutNya. Itu pulalah sebabnya kita menghormati
Sakramen Maha Kudus, sebab kita percaya bahwa hosti yang telah
dikonsekrasikan itu sudah bukan hosti lagi tetapi sungguh-sungguh Tubuh
Kristus.
2) Oleh sebab itu dikatakan bahwa Misa Kudus adalah
kurban Kristus, yang dilakukan oleh Gereja, untuk memperingati
pengorbanan-Nya sesuai dengan pesan-Nya. Pada saat misa, Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi korban penebus dosa kita manusia.[12]
3) Maka setelah konsekrasi, hanya substansi roti dan anggur-nya saja yang berubah, sedangkan accidents/
penampilan luarnya tetap. Untuk mengerti konsep ini memang diperlukan
pengertian filosofis, yaitu bahwa pada setiap benda, kita mengenal
adanya substansi dan accidents. Misalnya, hakekat kita manusia
adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri tubuh dan jiwa, yang punya
ratio dan kehendak bebas, sedangkan accidents-nya adalah warna kulit, bangsa, tinggi/ berat badan, dst. Jika kita mencampur adukkan kedua hal ini (substansi dan accidents)
maka akan sulit bagi kita untuk memahami konsep Transubstansiasi ini.
Sebab setelah transubsansiasi, maka yang nampak sebagai hosti sudah
bukan hosti lagi, karena substansinya telah berubah menjadi Tubuh
Kristus, sedangkan accidents-nya tetap sama, yaitu dalam rupa roti dan anggur.
Martin Luther (1483-1546) tidak membedakan antara substansi dan accidents, maka ia mengajarkan konsep kehadiran Yesus yang disebut sebagai Consubstantion/ Companation. Ia mengatakan bahwa setelah didoakan dengan Sabda Tuhan, maka Kristus hadir secara nyata di dalam roti dan anggur itu bersamaan
dengan roti dan anggur itu sendiri. Jadi, menurut Luther, pada roti itu
adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan Darah Kristus, tetapi juga tetap
roti dan anggur biasa. Dalam hal ini, Luther tidak mengartikan ayat,
“Inilah Tubuh-Ku” secara literal [padahal pada umumnya ia sangat
mementingkan arti literal Alkitab]. Sebaliknya, ia mengartikannya secara
figuratif, seolah Yesus mengatakan, “Di dalam dan bersama
roti ini adalah Tubuh-Ku”. Maka, dengan kata lain, Luther mengartikan
bahwa dalam benda yang sama itu substansinya ada dua: roti sekaligus
Tubuh Kristus; dan anggur sekaligus juga Darah Kristus.
Luther
berpendapat demikian karena ia mengambil analogi Inkarnasi, yaitu bahwa
Tuhan Yesus mengambil rupa manusia, dan karena Ke-Tuhanan-Nya yang
omnipresent, maka kemanusiaan-Nya juga dapat hadir di mana-mana, yang
dikenal sebagai ubiquitism. Semoga tidak ada yang tersinggung
jika kita mengatakan, bahwa sesungguhnya pengajaran ini sulit diterima
akal, karena itu sama saja mengatakan bahwa kehadiran-Nya dalam hosti
kudus, sama saja dengan kehadiran-Nya dalam semua makanan dan
benda-benda yang lain.[13]
Ajaran ini sepertinya mencampur-adukkan hal yang suci dan yang profan,
antara sakramen dan yang bukan sakramen. Hal ini sebenarnya
bertentangan dengan self-evident principle, (prinsip yang tak
perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu “sesuatu tidak dapat menjadi dan
tidak menjadi dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.”
Mungkin
karena sulitnya prinsip ini diterima secara umum, maka terdapat banyak
pendapat yang saling bertentangan bahkan di kalangan gereja-gereja
Protestan sendiri. Kita melihat posisi ekstrim yang dianut oleh Ulrich
Zwingli (1483- 1531), yaitu bahwa Yesus tidak mungkin hadir secara nyata
(bodily/ real prensence) di dalam Ekaristi [mereka menyebutnya Perjamuan/the Lord’s Supper].
Maka roti dan anggur menurut Zwingli hanyalah simbol saja, sebagai
tanda akan Tubuh Kristus, dan tanda akan Darah-Nya. Posisi Zwingli ini
tidak bisa menjelaskan Sabda yang dikatakan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku”,
sebab ia mengartikannya sebagai, “Ini adalah simbol Tubuh-Ku”, yang
tentu saja tidak sesuai dengan teks Alkitab.
John Calvin (1509-
1564) kemudian mengambil jalan tengah antara Luther dan Zwingli, dengan
mengatakan bahwa kehadiran Yesus di dalam rupa roti dan anggur itu
merupakan kehadiran yang nyata, namun hanya spiritual, bukan
secara badani. Jadi roti itu bukan sungguh-sungguh Tubuh Yesus, dan
anggur itu bukan Darah Yesus, namun Yesus secara spiritual hadir di
dalamnya.[14]
Maka bagi Calvin, komuni bukanlah persatuan dengan Tubuh Kristus secara
literal, tetapi hanya secara spiritual dengan iman. Oleh karena itu,
Calvin serupa dengan Melancthon, murid Luther, yang mengatakan bahwa,
kehadiran Kristus tidak tergantung dari perkataan konsekrasi yang
diucapkan oleh imam yang bicara atas nama Kristus, melainkan tergantung
dari iman pribadi yang menerima komuni. Sebenarnya, jika kita kembali
kepada teks Alkitab, kita tidak dapat menemukan dasar bahwa kehadiran
Yesus ‘tergantung dari iman pribadi yang menerimanya’. Sebab Yesus hanya
berkata dengan jelas dan sederhana, “Inilah Tubuh-Ku…” Dan Gereja
Katolik percaya bahwa Sabda-Nya yang berkuasa membuat-Nya menjelma
menjadi manusia (lih Yoh 1:14), juga berkuasa mengubah substansi roti
itu menjadi Tubuh-Nya. Maka setelah konsekrasi, sepanjang roti itu
berupa roti, dan belum terurai menjadi rupa yang lain (rusak secara
natural, atau dicerna tubuh manusia), maka Yesus hadir secara nyata oleh
kuasa Roh Kudus-Nya.
Selanjutnya, Luther dan Calvin tidak menganggap Ekaristi (the Lord’s Supper/ Perjamuan Kudus) pertama-tama sebagai kurban peringatan dan pernyataan iman akan Misteri Paska Kristus. Karena doktrin “sola fide”
(hanya iman saja) yang mereka anut, maka mereka cenderung menganggap
Misa yang dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai ‘perbuatan’ manusia.
Mereka tidak melihat bahwa Ekaristi, yang walaupun melibatkan umat namun
pertama-tama adalah perbuatan nyata Kristus sebagai Kepala dengan kesatuan dengan Tubuh Mistik-Nya,
yang oleh kuasa Roh Kudus-Nya yang melintasi batas ruang dan waktu,
mampu menghadirkan kembali kurban salib-Nya untuk mendatangkan
buah-buahnya kepada Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Maka, bagi Calvin, Perjamuan Kudus tersebut pertama-tama merupakan pernyataan kasih Tuhan.[15]
Gereja Katolik tidak menyangkal bahwa Ekaristi adalah pernyataan kasih
Tuhan, namun Gereja Katolik juga melihat bahwa hal ini tidak terlepas
dengan perbuatan Kristus yang mengikutsertaan anggota-anggota Tubuh-Nya
untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh-Nya
sebagai Kepala. Dalam Misa, Yesus menjalankan peran-Nya sebagai
Pengantara yang tunggal antara Allah dan manusia; dengan mengucapkan
syukur kepada Allah Bapa dalam kuasa Roh Kudus, dan pada saat yang sama,
menjadi kurban dan Imam Agung untuk menyalurkan rahmat pengampunan dosa
demi keselamatan kita. Sebab sudah menjadi kehendak-Nya agar kita
mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi agar kita beroleh hidup yang
kekal (lih. Yoh 6:54); dan agar kita mengenang-Nya dengan cara demikian
sampai kedatangan-Nya kembali (1 Kor 11:26). Maka, adanya Ekaristi,
adalah pertama-tama karena rahmat Kristus, yang mengundang kita untuk
mengambil bagian di dalam-Nya, dan karena itu, Misa bukan ‘perbuatan’
kita semata-mata.
Konsili Trente
Gereja Katolik melalui Konsili Trente (1564) menolak posisi Luther maupun Calvin, dengan menetapkan sebagai berikut:
Session
13, kanon 2, [menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang
keliru]: “Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada
di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah
Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan
substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi
Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal,
seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi:
biarlah dia menjadi anathema.”[16]
Session 13, kanon 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.”
Session 13, kanon 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.”
DS 1743, Session 22, bab 2,
[menyatakan kesamaan kurban Ekaristi dengan kurban salib Kristus]:
“Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya
dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di
salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka
kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab
kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam
Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari
para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik yang disusun untuk menjabarkan doktrin dengan semangat Konsili tersebut mengajarkan pentingnya Ekaristi dalam kehidupan umat beriman,
karena di dalamnya terkandung seluruh ‘harta’ spiritual Gereja, yaitu
Kristus sendiri. Oleh karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai “sumber dan
puncak kehidupan Kristiani”.[17]
KGK 1324 Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani”
(LG 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan
gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci
dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh
kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita” (PO 5).
KGK 1375 Kristus hadir di dalam Sakramen ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya.
Bapa-bapa Gereja menekankan dengan tegas iman Gereja, bahwa Sabda
Kristus dan kuasa Roh Kudus bekerja begitu kuat, sehingga mereka dapat
melaksanakan perubahan ini. Santo Yohanes Krisostomus menjelaskan:
“Bukan
manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi tubuh dan
darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk
kita. Imam yang mewakili Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya
kerjanya dan rahmat datang dari Allah. Inilah tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu” (prod. Jud. 1,6).
Dan santo Ambrosius mengatakan tentang perubahan ini:
“Di
sini terdapat sesuatu yang tidak dibentuk alam, tetapi yang dikonsekrir
dengan berkat, dan daya guna berkat itu melampaui kodrat, malahan
kodrat itu sendiri diubah melalui berkat… Bukankah Kristus, yang dapat
menciptakan yang belum ada dari ketidakadaan, dapat mengubah yang ada ke
dalam sesuatu, yang sebelumnya tidak ada? Menciptakan hal baru, tidak
lebih gampang daripada mengubah kodrat” (myst. 9,50,52).
KGK 1376
Konsili Trente menyimpulkan iman Katolik, dengan menjelaskan: “Karena
Kristus Penebus kita mengatakan bahwa apa yang Ia persembahkan dalam
rupa roti adalah benar-benar tubuh-Nya, maka di dalam Gereja Allah
selalu dipegang teguh keyakinan ini, dan konsili suci ini menjelaskannya
kembali: oleh konsekrasi roti dan anggur terjadilah perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi tubuh Kristus, Tuhan kita, dan seluruh substansi anggur ke dalam substansi darah-Nya.
Perubahan ini oleh Gereja Katolik dinamakan secara tepat dan dalam arti
yang sesungguhnya perubahan hakiki [transsubstansiasi]” (DS: 1642).
KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada.
Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh
Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus Bdk. Konsili
Trente: DS 1641.
KGK 1396 Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja.
Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam
Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita
dipanggil untuk membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 12:13).
Kesimpulan
Dari
melihat uraian di atas, maka kita melihat betapa doktrin Ekaristi
(kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya karena Transubstansiasi) yang
diajarkan oleh Gereja Katolik mempunyai dasar yang teguh, sebab telah
berakar dari Tradisi para rasul dan para Bapa Gereja. Jika pengertian
kita tidak demikian, maka itu sama saja kita menilai bahwa para rasul
dan para Bapa Gereja dan seluruh Gereja itu selama berabad- abad telah
‘salah pengertian’. Mungkin inilah yang ada di pikiran para Reformer
seperti Luther, Calvin, Zwingli, dst. Tetapi akibatnya, begitu mereka
menginterpretasikan sendiri ayat Alkitab dan beberapa perkataan Bapa
Gereja tanpa melihat konteksnya, maka akhirnya mereka bertentangan
sendiri, karena memegang pengertian yang berbeda-beda. Ironinya, mereka
sama-sama meng-klaim bahwa mereka mengartikan ayat Alkitab yang sama,
yaitu perkataan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku…” Mari kita
berhenti sejenak, dan merenungkan ayat tersebut. Biarlah dengan
kesederhanaan iman dan kerendahan hati, kita dapat percaya dan
mengimani, bahwa memang Kristuslah yang mengubah apa yang nampak sebagai
roti itu menjadi sungguh-sungguh Tubuh-Nya sendiri, sehingga yang
dipegang-Nya itu bukan roti lagi, walaupun rupanya tetap roti. Kuasa
mengubah roti menjadi anggur ini tidak diberikan kepada semua orang,
tetapi hanya kepada para rasul-Nya, yang kemudian diteruskan kepada para
penerus mereka, yaitu, para imam-Nya melalui tahbisan suci. Dengan
demikian Ekaristi juga berkaitan dengan Tahbisan Suci. Tangan-tangan
yang telah diurapilah yang diberi kuasa Roh Kudus untuk bertindak atas
nama Kristus, untuk melakukan mukjizat yang sangat agung ini.
Karena
betapa agungnya makna persatuan kita dengan Kristus dalam Komuni kudus,
maka sebelum menyambut-Nya kita harus mempersiapkan diri. Betapa
dalamnya makna persatuan itu, sehingga harus merupakan kesatuan total:
yaitu kesatuan dengan keseluruhan Tubuh Mistik Kristus yang ada di dalam
Gereja Katolik di bawah pimpinan pengganti Rasul Petrus. Inilah
sebabnya tidak sembarang orang dapat menyambut Tubuh Kristus, walaupun
ia mengimani bahwa roti itu sungguh telah diubah menjadi Tubuh-Nya.
Sebab masih ada makna lagi yang harus diimani, yaitu apakah ia mengimani
Gereja Kristus yang ada dalam Gereja Katolik yang didirikan di atas
Petrus (cf. Mat 16:18).
Kita sebagai orang Katolik sepantasnya bersyukur, bahwa kita memiliki Magisterium,[18]
yang dengan setia meneruskan pengajaran Kristus yang otentik, terutama
untuk pengajaran tentang Ekaristi ini. Kristus telah mengetahui, bahwa
tanpa jaminan ‘tak mungkin salah’ (infallibility) yang
diberikan kepada pemimpin Gereja-Nya, maka manusia cenderung
mengartikan sendiri pengajaran-Nya yang dapat mengakibatkan perpecahan
umat. Maka, Kristus memberikan kuasa ‘tidak mungkin salah’ (infallibility)[19] kepada Bapa Paus agar pengajaranNya dapat dilestarikan dengan murni. Inilah sebabnya, kita dapat dengan teguh mengimani doktrin Ekaristi, sebab kita yakin itu berasal dari Kristus sendiri.
Selanjutnya, mari kita berdoa agar semakin hari kita semakin dapat
menghayati kedalaman misteri kasih Tuhan yang dinyatakan melalui
kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan cara Allah mengasihi
kita. Sekarang tergantung kita, maukah kita belajar memahami dan
menghayati cara Tuhan mengasihi kita, ataukah kita lebih memilih cara
kita sendiri untuk merasakan kasih Tuhan?
Sumber: katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar